5/19/2013

Heijunka 2


HEIJUNKA 2
  
OLEH:

IRMA AGUSTININGSIH IMDAM


SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INDUSTRI
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
JAKARTA
2012


Heijunka Terhadap Produk
Menurut Gutomo, et.al, (2005), bahwa berproduksi yang heijunka/merata adalah dalam hal :
a.    Jumlah atau volume
b.    Varian atau tipe
Contoh, diketahui :
·         Jumlah hari kerja bulan ini      = 20 hari kerja,
·         Jumlah produksi bulan ini                 = 1000 unit
·         Jumlah produksi/hari              = 1000 unit/20 hari
                           = 50 unit/hari (heijunka jumlah)
·   Tipe A = 500 unit,
·   Jumlah produksi tipe A/hari      = 500 unit/20 hari
                                                   = 25 unit/hari (heijunka tipe)
·   Tipe B = 300 unit,
·   Jumlah produksi tipe B/hari      = 300 unit/20 hari
                                                   = 15 unit/hari (heijunka tipe)
·   Varian C = 200 unit
·   Jumlah produksi tipe C/hari      = 200 unit/20 hari
= 10 unit/hari (heijunka tipe)
Jadi dari perhitungan diatas, dapat disajikan sebuah jadwal produksi harian dibawah ini :

Tabel 1. Jadwal Produksi Harian Tipe A, B, dan C
Tipe
Tanggal
Total

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

A
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
500
B
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
15
300
C
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
10
200
Jumlah
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
50
1000
Sumber : Gutomo, et al, (2005)

D. Heijunka Terhadap Jam Kerja
Dipabrik Toyota, konsep produksi lancar juga diterapkan pada perbedaan jam kerja yang diperlukan untuk memproduksi mobil yang berbeda pada lini yang sama.
Misalkan jam kerja yang diperlukan untuk menghasilkan A, B, dan C pada lini berturut-turut adalah 70 menit, 50 menit, dan 60 menit. Jika mobil diproduksikan dalam urutan tertentu, yakni, A, B, C, A, B, C, lini tidak akan berhenti karena waktu siklus rerata lini ini adalah 60 menit (lihat pada gambar 1.). Akan tetapi, jika produk A (lihat pada gambar 2.) diproduksi dalam lot, lini dengan waktu siklus 60 menit ini tidak akan dapat menyelesaikannya karena A memerlukan waktu siklus 70 menit. Hal ini akan menyebabkan lini berhenti, untuk mencegah hal tersebut maka jumlah pekerja harus ditambah untuk menyelesaikan kerja dalam 70 menit. Jika jumlah model yang bermacam-macam itu meningkat, jumlah lot juga meningkat, dan demikian juga kerja penyiapan untuk tiap proses terdahulu. Sebaliknya, jika dikehendaki penurunan frekuensi penyiapan pada proses yang terdahulu, ukuran lot harus ditambah pada tiap proses terdahulu dan berakibat sediaan suku cadang/part meningkat. 


E. Heijunka Waktu Siklus Terhadap Takt Time
Di dalam membuat barang yang hanya dapat dijual, maka standar lama waktu yang diperlukan untuk memproduksi barang tersebut harus dapat diatur agar dapat memenuhi permintaan konsumen. Hal inilah yang dimaksud sebagai takt time.
Takt time adalah kecepatan produksi yang dinyatakan dalam satuan waktu untuk melakukan suatu proses atau satu unit part, dan secara umum berlaku diseluruh proses baik dari proses perakitan maupun sampai proses akhir yaitu barang jadi. (Toyota Production System, 1994).
Sedangkan waktu siklus merupakan jumlah dari waktu setiap elemen pekerjaan untuk melakukan suatu proses atau satu unit part. Oleh karena itu agar memenuhi permintaan pelanggan, nilai takt time yang menunjukkan kecepatan penjualan kepada pelanggan harus lebih besar dibandingkan dengan waktu siklusnya.
Takt time dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Ø            Takt Time =   

Sedangkan waktu siklus dapat dicari dengan rumus (Groover, 2001) sebagai berikut:

Ø  Waktu siklus (detik) =   Waktu Proses X 60
                                                         Jumlah Produksi
Dimana;
§ Waktu proses adalah total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sejumlah unit produksi yang telah terjadwal.
§ Waktu siklus adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu unit produk atau disebut juga sebagai waktu permesinan/unit produk.
Dalam melakukan pengalokasian pembebanan kerja antar operator, Toyota memiliki konsep melakukan pemerataan pembebanan kerja yaitu dengan meniadakan waktu menggangur tersembunyi (seperti terlihat pada gambar 1.). Pengalokasian pembebanan kerja yang baik adalah dengan memaksimalkan takt time dari waktu siklus setiap pekerja sehingga waktu yang menganggur setelah pengalokasian operasi akan tampak jelas dan hal tersebut merupakan suatu tantangan untuk melakukan perbaikan kerja (pada gambar 2)

E. Heijunka Waktu Siklus Terhadap Takt Time
Di dalam membuat barang yang hanya dapat dijual, maka standar lama waktu yang diperlukan untuk memproduksi barang tersebut harus dapat diatur agar dapat memenuhi permintaan konsumen. Hal inilah yang dimaksud sebagai takt time.
Takt time adalah kecepatan produksi yang dinyatakan dalam satuan waktu untuk melakukan suatu proses atau satu unit part, dan secara umum berlaku diseluruh proses baik dari proses perakitan maupun sampai proses akhir yaitu barang jadi. (Toyota Production System, 1994).
Sedangkan waktu siklus merupakan jumlah dari waktu setiap elemen pekerjaan untuk melakukan suatu proses atau satu unit part. Oleh karena itu agar memenuhi permintaan pelanggan, nilai takt time yang menunjukkan kecepatan penjualan kepada pelanggan harus lebih besar dibandingkan dengan waktu siklusnya.
Takt time dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
 
Waktu Pengoperasian (Pershift atau perhari)
Takt Time =
                         Volume Produksi yang diperlukan (pershift/perhari)

Sedangkan waktu siklus dapat dicari dengan rumus (Groover, 2001) sebagai berikut:

Ø  Waktu siklus (detik) =   Waktu Proses X 60
                                                         Jumlah Produksi
Dimana;
§ Waktu proses adalah total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sejumlah unit produksi yang telah terjadwal.
§ Waktu siklus adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu unit produk atau disebut juga sebagai waktu permesinan/unit produk.
Dalam melakukan pengalokasian pembebanan kerja antar operator, Toyota memiliki konsep melakukan pemerataan pembebanan kerja yaitu dengan meniadakan waktu menggangur tersembunyi (seperti terlihat pada gambar 1.). Pengalokasian pembebanan kerja yang baik adalah dengan memaksimalkan takt time dari waktu siklus setiap pekerja sehingga waktu yang menganggur setelah pengalokasian operasi akan tampak jelas dan hal tersebut merupakan suatu tantangan untuk melakukan perbaikan kerja



F.  Pengurutan Produksi dengan Pola Heijunka Produksi

PEMBUATAN POLA HEIJUNKA

1. Metode Trial and Error
Ø  Pola Heijunka disusun berdasarkan harga rata-rata dari total yang akan diproduksi
Ø  Dalam Pola Heijunka Mengandung 3 Pengertian :
ü  Meratakan produksi perhari dari jumlah total produksi
ü  Membuat Standar harian produksi berdasar kan model
ü  Membuat Standar Prosedur

 

Ø  Langkah-Langkah


o   Langkah 1 : Menentukan Jumlah Produksi Harian
Jumlah Produksi Harian didapat dengan cara Membagi Total Produksi Perbulan dengan Banyaknya Hari Kerja
Contoh :
·               Model A = 2.000 unit/bulan       
·               Model B = 1.000 unit/bulan   
·               Model C =   500 unit/bulan            
·               Model D =   500 unit/bulan +   
Total/bln  = 4.000 unit/bulan
·               Hari kerja = 20 hari/bln
                                Total Unit/bln       4000 unit/bln
Jumlah Prod./hari=                             =                             =          
                                Hari Kerja/bln       20 hari/bln
Jumlah Prod./hari=200 unit/hr
 
Ø  Langkah 2 : Menentukan Jumlah Produksi Harian per Model
Jumlah Produksi Harian Permodel didapat dengan cara Membagi Total Produksi Perbulan dengan Banyaknya Hari Kerja untuk Tiap Model
Contoh :
·         Model A = 2.000 / 20  = 100 unit/hari
·         Model B = 1.000 / 20  =   50 unit/hari
·         Model C =   500 / 20   =   25 unit/hari         
·         Model D =   500 / 20   =   25 unit/hari

Ø  Langkah 3 : Menentukan Ratio Perbandingan Dari Tiap Model
Ratio didapat dengan Membagi Jumlah Produksi Harian dengan Jumlah Produksi Harian yang Terkecil
Contoh :
·         Ratio Model A = 100 / 25 = 4         
·         Ratio Model B =   50 / 25 =2        
·         Ratio Model C =   25 / 25 = 1              
·         Ratio Model D =   25 / 25 = 1    
Ø  Langkah 4 : Menyusun Pola Heijunka
Ratio Yang Dihitung pada Langkah Sebelumnya  Berguna untuk Menyusun pola Heijunka
Contoh :
A-B-A-C-A-B-A-D/ A-B-A-C-A-B-A-D / dst

Pola Heijunka ini akan terus berulang sampai mencapai produksi 200 unit perhari dan 4.000 unit perbulan

Ø  Jumlah Pola

                                                  Jumlah Produksi perhari
                   Jumlah Pola/Hari =
                                                            Total Ratio

Contoh : Jml Pola/hari =   200 / 8  = 25 pola/hari

 
2. Metode Iterasi
Dalam metode heijunka, volume produksi yang telah direncanakan besarnya masing-masing periode bulanan diturunkan ke periode harian dengan cara merata-ratakannya (untuk masing-masing jenis produk). Dari volume produksi harian yang telah direncanakan, ditentukan besarnya rasio untuk semua jenis produk yang akan diproduksi. Selanjutnya besarnya rasio yang didapat, ditetapkan sebagai dasar penentuan urutan produksi. Urutan produksi ini didasarkan atas penyeimbangan waktu penyelesaian (beban kerja) seluruh jenis produk di lini produksi. Penyeimbangan waktu penyelesaian yang dilakukan untuk pengaturan urutan produksi berfungsi untuk menyeimbangkan beban kerja oleh tiap operator yang akan mengerjakan produk-produk tersebut di lini produksi.
Untuk menentukan rasio dan pola heijunka produksi pada proses fabrikasi menurut Gutomo, et.al, (2005) adalah sebagai berikut: Misalkan, diketahui mesin H dapat memproduksi 3 jenis produk/part masing-masing A, B, dan C dengan jumlah unit untuk masing-masing produk adalah 5, 3, dan 2. Langkah-langkah dalam menentukan pengurutan part dengan menggunakan pola heijunka adalah :
a.    Tentukan rasio untuk masing-masing  produk/part dengan total seluruhnya = 1
Jumlah total unit untuk ketiga jenis produk = 5 + 3 + 2 = 10 unit
Rasio awal untuk produk A = 5/10 = 0.5
                               produk B = 3/10 = 0.3
                                 produk C = 2/10 = 0.2 +
                         Total rasio         =  1
Jika ketiga produk/part tersebut mempunyai ukuran lot part, maka jumlah unit dari masing-masing ketiga part tersebut harus dibagi terlebih dahulu dengan nilai lotnya masing-masing. Hasil pembagian ini juga disebut sebagai jumlah lot part, kemudian untuk mendapatkan rasio masing-masing produk/part maka jumlah lot part ini dibagi dengan total jumlah lot part dari ketiga jenis part tersebut. Sehingga didapatlah rasio dari masing-masing ketiga produk/part tersebut.
b.    Urutkan nilai rasio tersebut dari mulai besar ke kecil
c.    Nomor urut pengerjaan pertama seluruh rasio dikalikan 1 lalu pilih nilai terbesarnya yaitu part A.

Tabel 2. Urutan Produksi Pertama
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

d.    Nomor urut pengerjaan kedua seluruh rasio dikalikan dengan dua.
Rasio yang sudah dikerjakan (part A) dikurangi dengan satu dan terpilih part B dengan nilai yang terbesar.
Tabel 3. Urutan Produksi Kedua
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2)  - 1
0.3 x 2
0.2 x2
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

e.    Nomor urut pengerjaan ketiga seluruh rasio dikalikan dengan tiga.
Rasio yang sudah dikerjakan (part A) dan part B dikurangi dengan satu dan terpilihlah part C dengan nilai yang terbesar.

Tabel 4. Urutan Produksi Ketiga
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2) - 1
0.3 x 2
0.2 x2
3
(0.5 x 3) - 1
(0.3 x 3) - 1
0.2 x 3
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

f.    Nomor urut pengerjaan keempat seluruh rasio dikalikan dengan empat kemudian part A, B, dan C dikurangi satu karena sudah keluar di tiga langkah sebelumnya dan terpilihlah part A dengan nilai terbesar
Tabel 5. Urutan Produksi Keempat
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2) - 1
0.3 x 2
0.2 x2
3
(0.5 x 3) - 1
(0.3 x 3) - 1
0.2 x 3
4
(0.5 x 4) - 1
(0.3 x 4) – 1
(0.2 x 4) - 1
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

g.    Nomor urut pengerjaan kelima seluruh rasio dikalikan dengan lima kemudian part A dikurangi dua sedangkan part B, dan C dikurangi satu lalu terpilihlah part A dan B dengan nilai terbesar. Jika ada dua nilai yang paling besar maka utamakan terlebih dahulu part dengan jumlah produksi yang terbanyak dalam hal ini adalah part A. Jika jumlahnya sama, maka pilih salah satu.
Tabel 6. Urutan Produksi Kelima
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2) - 1
0.3 x 2
0.2 x2
3
(0.5 x 3) - 1
(0.3 x 3) - 1
0.2 x 3
4
(0.5 x 4) - 1
(0.3 x 4) – 1
(0.2 x 4) - 1
5
(0.5 x 5) - 2
(0.3 x 5) - 1
(0.2 x 5) - 1
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

h.    Nomor urut pengerjaan keenam seluruh rasio dikalikan dengan enam kemudian part A dikurangi tiga sedangkan part B dan C dikurangi satu lalu terpilihlah part B dengan nilai terbesar.


Tabel 7. Urutan Produksi Keenam
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2) - 1
0.3 x 2
0.2 x2
3
(0.5 x 3) - 1
(0.3 x 3) - 1
0.2 x 3
4
(0.5 x 4) - 1
(0.3 x 4) – 1
(0.2 x 4) - 1
5
   (0.5 x 5) - 2
(0.3 x 5) - 1
(0.2 x 5) - 1
6
(0.5 x 6) - 3
(0.3 x 6) - 1
(0.2 x 6) - 1
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

i.     Nomor urut pengerjaan ketujuh seluruh rasio dikalikan dengan tujuh kemudian part A dikurangi tiga, part B dikurangi dua, dan part C dikurangi satu lalu terpilihlah part A dengan nilai terbesar.
Tabel 8. Urutan Produksi Ketujuh
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2) - 1
0.3 x 2
0.2 x2
3
(0.5 x 3) - 1
(0.3 x 3) - 1
0.2 x 3
4
(0.5 x 4) - 1
(0.3 x 4) – 1
(0.2 x 4) - 1
5
(0.5 x 5) - 2
(0.3 x 5) - 1
(0.2 x 5) - 1
6
(0.5 x 6) - 3
(0.3 x 6) - 1
(0.2 x 6) - 1
7
(0.5 x 7) - 3
(0.3 x 7) - 2
(0.2 x 7) - 1
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

j.     Nomor urut pengerjaan kedelapan seluruh rasio dikalikan dengan delapan kemudian part A dikurangi empat, part B dikurangi dua, dan part C dikurangi satu lalu terpilihlah part C dengan nilai terbesar.
Tabel 9. Urutan Produksi Kedelapan
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2) - 1
0.3 x 2
0.2 x2
3
(0.5 x 3) - 1
(0.3 x 3) - 1
0.2 x 3
4
(0.5 x 4) - 1
(0.3 x 4) – 1
(0.2 x 4) - 1
5
   (0.5 x 5) - 2
(0.3 x 5) - 1
(0.2 x 5) - 1
6
(0.5 x 6) - 3
(0.3 x 6) - 1
(0.2 x 6) - 1
7
(0.5 x 7) - 3
(0.3 x 7) - 2
(0.2 x 7) - 1
8
(0.5 x 8) - 4
(0.3 x 8) - 2
(0.2 x 8) - 1
Sumber : Gutomo, et.al, 2005


k.    Nomor urut pengerjaan kesembilan seluruh rasio dikalikan dengan sembilan kemudian part A dikurangi empat, part B dikurangi dua, dan part C dikurangi dua lalu terpilihlah part B dengan nilai terbesar.
Tabel 10. Urutan Produksi Kesembilan
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2) - 1
0.3 x 2
0.2 x2
3
(0.5 x 3) - 1
(0.3 x 3) - 1
0.2 x 3
4
(0.5 x 4) - 1
(0.3 x 4) – 1
(0.2 x 4) - 1
5
(0.5 x 5) - 2
(0.3 x 5) - 1
(0.2 x 5) - 1
6
(0.5 x 6) - 3
(0.3 x 6) - 1
(0.2 x 6) - 1
7
(0.5 x 7) - 3
(0.3 x 7) - 2
(0.2 x 7) - 1
8
(0.5 x 8) - 4
(0.3 x 8) - 2
(0.2 x 8) - 1
9
(0.5 x 9) - 4
(0.3 x 9) - 2
(0.2 x 9) - 2
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

l.      Nomor urut pengerjaan kesepuluh seluruh rasio dikalikan dengan sepuluh kemudian part A dikurangi empat, part B dikurangi dua, dan part C dikurangi dua lalu terpilihlah part A dengan nilai terbesar.

Tabel 11. Urutan Produksi Kesepuluh
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5 x 1
0.3 x 1
0.2 x 1
2
(0.5 x 2) - 1
0.3 x 2
0.2 x2
3
(0.5 x 3) - 1
(0.3 x 3) - 1
0.2 x 3
4
(0.5 x 4) - 1
(0.3 x 4) – 1
(0.2 x 4) - 1
5
(0.5 x 5) - 2
(0.3 x 5) - 1
(0.2 x 5) - 1
6
(0.5 x 6) - 3
(0.3 x 6) - 1
(0.2 x 6) - 1
7
(0.5 x 7) - 3
(0.3 x 7) - 2
(0.2 x 7) - 1
8
(0.5 x 8) - 4
(0.3 x 8) - 2
(0.2 x 8) - 1
9
(0.5 x 9) - 4
(0.3 x 9) - 2
(0.2 x 9) - 2
10
(0.5 x 10) - 4
(0.3 x 10) - 3
(0.2 x 10) - 2
Sumber : Gutomo, et.al, 2005







m.   Hasil dari iterasi diatas adalah sebagai berikut :
Tabel 12. Pengurutan Produksi Keseluruhan
NO
Produk A
Produk B
Produk C
1
0.5
0.3
0.2
2
0
0.6
0.4
3
0.5
-0.1
0.6
4
1
0.2
-0.2
5
0.5
0.5
0
6
0
0.8
0.2
7
0.5
0.1
0.4
8
0
0.4
0.6
9
0.5
0.7
-0.2
10
1
0
0
Sumber : Gutomo, et.al, 2005

Sehingga urutan pengerjaan produk adalah: A-B-C-A-A-B-A-C-B-A

V. REFERENSI YANG DIGUNAKAN :
Monden, Yasuhiro., 2000. Sistem Produksi Toyota : Suatu Ancangan Terpadu Untuk Penerapan Just-In-Time, Penerbit PPM dan Yayasan Toyota Astra, Seri Manajemen No. 7, Jakarta.
 Monden, Yasuhiro., 2000. Sistem Produksi Toyota : Suatu Ancangan Terpadu Untuk Penerapan Just-In-Time, Penerbit PPM dan Yayasan Toyota Astra, Seri Manajemen No. 8, Jakarta.
 PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, 2006, The Toyota Way
 Ohno, Taichi, Just-In-Time Dalam Sistem Produksi Toyota, Penerbit PT Pustaka Binaman Pressindo, Seri Manajemen No.168, Jakarta.
              
Suzaki, Kiyoshi., 1991. Tantangan Industri Manufaktur Penerapan Perbaikan Berkesinambungan, Saduran Ir. Kristianto Jahja, Penerbit PQM (Productivity and Quality Management Consultant), Jakarta.
 Toyota Production System, 1994, Standar Kerja dan Kaizen, PT Toyota Astra Motor, PADES.
 Toyota Production System, 1994, Standar Kerja dan Kaizen, Toyota Motor Corporation, Human Resource Development, Dept, No. 2.
 Toyota Motor Company, Toyota Production System, 2003, Just-In-Time, Jidouka, Kaizen.
 Toyota Motor Company, 1993, Toyota Production System, Just In Time, Jidouka, Kaizen, Standardized Work

 











1 komentar:

  1. Terimakasih ibu atas penjelasannya yang sangat membantu, saya mahasiswa dari salah satu univ di yogyakarta sedang melakukan penelitian terkait integrasi antara heijunka dan RCCP ibu. semoga kedepannya bisa lebih baik ibu.

    salam hormat.

    Zulkarnaini

    BalasHapus