HEIJUNKA 2
OLEH:
IRMA AGUSTININGSIH IMDAM
SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INDUSTRI
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
JAKARTA
2012
Heijunka Terhadap Produk
Menurut Gutomo, et.al,
(2005), bahwa berproduksi yang heijunka/merata
adalah dalam hal :
a. Jumlah atau volume
b. Varian atau tipe
Contoh, diketahui :
·
Jumlah hari kerja bulan ini = 20 hari kerja,
·
Jumlah produksi bulan ini
= 1000 unit
·
Jumlah produksi/hari =
1000 unit/20 hari
= 50 unit/hari (heijunka jumlah)
· Tipe A = 500
unit,
· Jumlah
produksi tipe A/hari = 500 unit/20
hari
= 25 unit/hari
(heijunka tipe)
·
Tipe B
= 300 unit,
· Jumlah
produksi tipe B/hari = 300 unit/20
hari
= 15 unit/hari (heijunka tipe)
· Varian C = 200
unit
· Jumlah
produksi tipe C/hari = 200 unit/20
hari
= 10 unit/hari (heijunka tipe)
Jadi dari perhitungan
diatas, dapat disajikan sebuah jadwal produksi harian dibawah ini :
Tabel 1. Jadwal Produksi Harian Tipe A,
B, dan C
|
Tipe
|
Tanggal
|
Total
|
|||||||||||||||||||
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
13
|
14
|
15
|
16
|
17
|
18
|
19
|
20
|
|
|
A
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
25
|
500
|
|
B
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
15
|
300
|
|
C
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
10
|
200
|
|
Jumlah
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
50
|
1000
|
Sumber : Gutomo, et al, (2005)
D. Heijunka Terhadap Jam Kerja
Dipabrik Toyota,
konsep produksi lancar juga diterapkan pada perbedaan jam kerja yang diperlukan
untuk memproduksi mobil yang berbeda pada lini yang sama.
Misalkan jam kerja
yang diperlukan untuk menghasilkan A, B, dan C pada lini berturut-turut adalah
70 menit, 50 menit, dan 60 menit. Jika mobil diproduksikan dalam urutan
tertentu, yakni, A, B, C, A, B, C, lini tidak akan berhenti karena waktu siklus
rerata lini ini adalah 60 menit (lihat pada gambar 1.). Akan tetapi, jika
produk A (lihat pada gambar 2.) diproduksi dalam lot, lini dengan waktu siklus
60 menit ini tidak akan dapat menyelesaikannya karena A memerlukan waktu siklus
70 menit. Hal ini akan menyebabkan lini berhenti, untuk mencegah hal tersebut
maka jumlah pekerja harus ditambah untuk menyelesaikan kerja dalam 70 menit.
Jika jumlah model yang bermacam-macam itu meningkat, jumlah lot juga meningkat,
dan demikian juga kerja penyiapan untuk tiap proses terdahulu. Sebaliknya, jika
dikehendaki penurunan frekuensi penyiapan pada proses yang terdahulu, ukuran
lot harus ditambah pada tiap proses terdahulu dan berakibat sediaan suku
cadang/part meningkat.
E. Heijunka Waktu Siklus Terhadap Takt Time
Di dalam membuat
barang yang hanya dapat dijual, maka standar lama waktu yang diperlukan untuk
memproduksi barang tersebut harus dapat diatur agar dapat memenuhi permintaan
konsumen. Hal inilah yang dimaksud sebagai takt
time.
Takt time adalah kecepatan produksi yang dinyatakan
dalam satuan waktu untuk melakukan suatu proses atau satu unit part, dan secara umum berlaku diseluruh
proses baik dari proses perakitan maupun sampai proses akhir yaitu barang jadi.
(Toyota Production System, 1994).
Sedangkan waktu siklus merupakan jumlah dari waktu setiap elemen pekerjaan
untuk melakukan suatu proses atau satu unit part.
Oleh karena itu agar memenuhi permintaan pelanggan, nilai takt time yang menunjukkan kecepatan penjualan kepada pelanggan
harus lebih besar dibandingkan dengan waktu siklusnya.
Takt time dapat dicari dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Ø
Takt Time =
Sedangkan
waktu siklus dapat dicari dengan rumus (Groover, 2001) sebagai berikut:
Ø Waktu siklus
(detik) = Waktu Proses X 60
Jumlah Produksi
Dimana;
§
Waktu
proses adalah total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sejumlah unit
produksi yang telah terjadwal.
§
Waktu
siklus adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu unit produk atau disebut
juga sebagai waktu permesinan/unit produk.
Dalam melakukan pengalokasian
pembebanan kerja antar operator, Toyota
memiliki konsep melakukan pemerataan pembebanan kerja yaitu dengan meniadakan
waktu menggangur tersembunyi (seperti terlihat pada gambar 1.). Pengalokasian
pembebanan kerja yang baik adalah dengan memaksimalkan takt time dari waktu siklus setiap pekerja sehingga waktu yang
menganggur setelah pengalokasian operasi akan tampak jelas dan hal tersebut
merupakan suatu tantangan untuk melakukan perbaikan kerja (pada gambar 2)


E. Heijunka Waktu Siklus Terhadap Takt Time
Di dalam membuat
barang yang hanya dapat dijual, maka standar lama waktu yang diperlukan untuk
memproduksi barang tersebut harus dapat diatur agar dapat memenuhi permintaan
konsumen. Hal inilah yang dimaksud sebagai takt
time.
Takt time adalah kecepatan produksi yang dinyatakan
dalam satuan waktu untuk melakukan suatu proses atau satu unit part, dan secara umum berlaku diseluruh
proses baik dari proses perakitan maupun sampai proses akhir yaitu barang jadi.
(Toyota Production System, 1994).
Sedangkan waktu siklus merupakan jumlah dari waktu setiap elemen pekerjaan
untuk melakukan suatu proses atau satu unit part.
Oleh karena itu agar memenuhi permintaan pelanggan, nilai takt time yang menunjukkan kecepatan penjualan kepada pelanggan
harus lebih besar dibandingkan dengan waktu siklusnya.
Takt time dapat dicari dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Waktu Pengoperasian (Pershift atau perhari)
Volume
Produksi yang diperlukan (pershift/perhari)
Sedangkan
waktu siklus dapat dicari dengan rumus (Groover, 2001) sebagai berikut:
Ø Waktu siklus
(detik) = Waktu Proses X 60
Jumlah Produksi
Dimana;
§
Waktu
proses adalah total waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sejumlah unit
produksi yang telah terjadwal.
§
Waktu
siklus adalah waktu yang dibutuhkan untuk membuat satu unit produk atau disebut
juga sebagai waktu permesinan/unit produk.
Dalam melakukan pengalokasian
pembebanan kerja antar operator, Toyota
memiliki konsep melakukan pemerataan pembebanan kerja yaitu dengan meniadakan
waktu menggangur tersembunyi (seperti terlihat pada gambar 1.). Pengalokasian
pembebanan kerja yang baik adalah dengan memaksimalkan takt time dari waktu siklus setiap pekerja sehingga waktu yang
menganggur setelah pengalokasian operasi akan tampak jelas dan hal tersebut
merupakan suatu tantangan untuk melakukan perbaikan kerja
F. Pengurutan Produksi dengan Pola Heijunka Produksi
PEMBUATAN POLA HEIJUNKA
1. Metode Trial and Error
Ø Pola Heijunka
disusun berdasarkan harga rata-rata dari total yang akan diproduksi
Ø
Dalam Pola Heijunka Mengandung 3 Pengertian :
ü Meratakan
produksi perhari dari jumlah total produksi
ü Membuat
Standar harian produksi berdasar kan model
ü
Membuat
Standar Prosedur
Ø Langkah-Langkah
o Langkah 1 : Menentukan Jumlah Produksi
Harian
Jumlah Produksi Harian
didapat dengan cara Membagi Total Produksi Perbulan dengan Banyaknya Hari Kerja
Contoh :
·
Model
A = 2.000 unit/bulan
·
Model B = 1.000 unit/bulan
·
Model
C = 500 unit/bulan
·
Model D = 500
unit/bulan +
Total/bln = 4.000 unit/bulan
·
Hari
kerja = 20 hari/bln
Total Unit/bln 4000 unit/bln
Hari Kerja/bln 20 hari/bln
Jumlah Prod./hari=200 unit/hr
Ø Langkah 2 :
Menentukan Jumlah Produksi Harian per Model
Jumlah Produksi Harian
Permodel didapat dengan cara Membagi Total Produksi Perbulan dengan Banyaknya
Hari Kerja untuk Tiap Model
Contoh :
·
Model
A = 2.000 / 20 = 100 unit/hari
·
Model
B = 1.000 / 20 = 50 unit/hari
·
Model
C = 500 / 20 = 25
unit/hari
·
Model
D = 500 / 20 = 25
unit/hari
Ø
Langkah 3 : Menentukan Ratio Perbandingan Dari Tiap Model
Ratio didapat dengan
Membagi Jumlah Produksi Harian dengan Jumlah Produksi Harian yang Terkecil
Contoh :
·
Ratio
Model A = 100 / 25 = 4
·
Ratio
Model B = 50 / 25 =2
·
Ratio
Model C = 25 / 25 = 1
·
Ratio
Model D = 25 / 25 = 1
Ø Langkah 4 : Menyusun Pola Heijunka
Ratio Yang Dihitung pada Langkah Sebelumnya Berguna untuk Menyusun pola Heijunka
Contoh :
A-B-A-C-A-B-A-D/ A-B-A-C-A-B-A-D / dst
Pola Heijunka ini akan terus berulang
sampai mencapai produksi 200 unit perhari dan 4.000 unit perbulan
Ø Jumlah Pola
Jumlah
Produksi perhari
Total Ratio
Contoh : Jml Pola/hari = 200 / 8
= 25 pola/hari
2. Metode Iterasi
Dalam metode heijunka, volume produksi yang telah
direncanakan besarnya masing-masing periode bulanan diturunkan ke periode
harian dengan cara merata-ratakannya (untuk masing-masing jenis produk). Dari
volume produksi harian yang telah direncanakan, ditentukan besarnya rasio untuk
semua jenis produk yang akan diproduksi. Selanjutnya besarnya rasio yang
didapat, ditetapkan sebagai dasar penentuan urutan produksi. Urutan produksi
ini didasarkan atas penyeimbangan waktu penyelesaian (beban kerja) seluruh
jenis produk di lini produksi. Penyeimbangan waktu penyelesaian yang dilakukan
untuk pengaturan urutan produksi berfungsi untuk menyeimbangkan beban kerja
oleh tiap operator yang akan mengerjakan produk-produk tersebut di lini
produksi.
Untuk
menentukan rasio dan pola heijunka
produksi pada proses fabrikasi menurut Gutomo, et.al, (2005) adalah sebagai
berikut: Misalkan, diketahui mesin H dapat memproduksi 3 jenis produk/part masing-masing A, B, dan C dengan
jumlah unit untuk masing-masing produk adalah 5, 3, dan 2. Langkah-langkah
dalam menentukan pengurutan part
dengan menggunakan pola heijunka
adalah :
a. Tentukan rasio untuk masing-masing produk/part
dengan total seluruhnya = 1
Jumlah total unit untuk ketiga jenis produk
= 5 + 3 + 2 = 10 unit
Rasio awal
untuk produk A = 5/10 = 0.5
produk B = 3/10 = 0.3
produk C = 2/10 = 0.2 +
Jika ketiga
produk/part tersebut mempunyai ukuran
lot part, maka jumlah unit dari
masing-masing ketiga part tersebut
harus dibagi terlebih dahulu dengan nilai lotnya masing-masing. Hasil pembagian
ini juga disebut sebagai jumlah lot part, kemudian untuk mendapatkan rasio
masing-masing produk/part maka jumlah
lot part ini dibagi dengan total jumlah lot part dari ketiga jenis part tersebut. Sehingga didapatlah rasio dari
masing-masing ketiga produk/part
tersebut.
b. Urutkan nilai rasio tersebut dari mulai
besar ke kecil
c.
Nomor urut pengerjaan pertama seluruh rasio dikalikan 1
lalu pilih nilai terbesarnya yaitu part
A.
Tabel 2. Urutan Produksi Pertama
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
d. Nomor urut
pengerjaan kedua seluruh rasio dikalikan dengan dua.
Rasio yang sudah dikerjakan (part A) dikurangi dengan satu dan
terpilih part B dengan nilai yang
terbesar.
Tabel
3. Urutan Produksi Kedua
|
NO
|
Produk
A
|
Produk
B
|
Produk
C
|
|
1
|
0.5
x 1
|
0.3
x 1
|
0.2
x 1
|
|
2
|
(0.5
x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2
x2
|
Sumber
: Gutomo, et.al, 2005
e. Nomor urut
pengerjaan ketiga seluruh rasio dikalikan dengan tiga.
Rasio yang sudah dikerjakan (part A) dan part B dikurangi dengan satu dan terpilihlah part C dengan nilai yang terbesar.
Tabel 4. Urutan Produksi
Ketiga
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
|
2
|
(0.5 x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2 x2
|
|
3
|
(0.5 x 3) - 1
|
(0.3 x 3) - 1
|
0.2 x 3
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
f. Nomor urut pengerjaan keempat seluruh rasio
dikalikan dengan empat kemudian part
A, B, dan C dikurangi satu karena sudah keluar di tiga langkah sebelumnya dan
terpilihlah part A dengan nilai
terbesar
Tabel 5. Urutan Produksi Keempat
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
|
2
|
(0.5 x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2 x2
|
|
3
|
(0.5 x 3) - 1
|
(0.3 x 3) - 1
|
0.2 x 3
|
|
4
|
(0.5 x 4) - 1
|
(0.3 x 4) – 1
|
(0.2 x 4) - 1
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
g. Nomor urut pengerjaan kelima seluruh rasio
dikalikan dengan lima
kemudian part A dikurangi dua
sedangkan part B, dan C dikurangi
satu lalu terpilihlah part A dan B
dengan nilai terbesar. Jika ada dua nilai yang paling besar maka utamakan
terlebih dahulu part dengan jumlah
produksi yang terbanyak dalam hal ini adalah part A. Jika jumlahnya sama, maka pilih salah satu.
Tabel 6. Urutan Produksi
Kelima
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
|
2
|
(0.5 x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2 x2
|
|
3
|
(0.5 x 3) - 1
|
(0.3 x 3) - 1
|
0.2 x 3
|
|
4
|
(0.5 x 4) - 1
|
(0.3 x 4) – 1
|
(0.2 x 4) - 1
|
|
5
|
(0.5 x 5) - 2
|
(0.3 x 5) - 1
|
(0.2 x 5) - 1
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
h. Nomor urut pengerjaan keenam seluruh rasio
dikalikan dengan enam kemudian part A
dikurangi tiga sedangkan part B dan C
dikurangi satu lalu terpilihlah part
B dengan nilai terbesar.
Tabel 7. Urutan Produksi Keenam
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
|
2
|
(0.5 x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2 x2
|
|
3
|
(0.5 x 3) - 1
|
(0.3 x 3) - 1
|
0.2 x 3
|
|
4
|
(0.5 x 4) - 1
|
(0.3 x 4) – 1
|
(0.2 x 4) - 1
|
|
5
|
(0.5 x 5) - 2
|
(0.3 x 5) - 1
|
(0.2 x 5) - 1
|
|
6
|
(0.5 x 6) - 3
|
(0.3 x 6) - 1
|
(0.2 x 6) - 1
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
i. Nomor urut pengerjaan ketujuh seluruh rasio
dikalikan dengan tujuh kemudian part
A dikurangi tiga, part B dikurangi
dua, dan part C dikurangi satu lalu
terpilihlah part A dengan nilai
terbesar.
Tabel 8. Urutan Produksi
Ketujuh
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
|
2
|
(0.5 x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2 x2
|
|
3
|
(0.5 x 3) - 1
|
(0.3 x 3) - 1
|
0.2 x 3
|
|
4
|
(0.5 x 4) - 1
|
(0.3 x 4) – 1
|
(0.2 x 4) - 1
|
|
5
|
(0.5 x 5) - 2
|
(0.3 x 5) - 1
|
(0.2 x 5) - 1
|
|
6
|
(0.5 x 6) - 3
|
(0.3 x 6) - 1
|
(0.2 x 6) - 1
|
|
7
|
(0.5 x 7) - 3
|
(0.3 x 7) - 2
|
(0.2 x 7) - 1
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
j. Nomor urut pengerjaan kedelapan seluruh
rasio dikalikan dengan delapan kemudian part
A dikurangi empat, part B dikurangi
dua, dan part C dikurangi satu lalu
terpilihlah part C dengan nilai
terbesar.
Tabel 9. Urutan Produksi
Kedelapan
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
|
2
|
(0.5 x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2 x2
|
|
3
|
(0.5 x 3) - 1
|
(0.3 x 3) - 1
|
0.2 x 3
|
|
4
|
(0.5 x 4) - 1
|
(0.3 x 4) – 1
|
(0.2 x 4) - 1
|
|
5
|
(0.5 x 5) - 2
|
(0.3 x 5) - 1
|
(0.2 x 5) - 1
|
|
6
|
(0.5 x 6) - 3
|
(0.3 x 6) - 1
|
(0.2 x 6) - 1
|
|
7
|
(0.5 x 7) - 3
|
(0.3 x 7) - 2
|
(0.2 x 7) - 1
|
|
8
|
(0.5 x 8) - 4
|
(0.3 x 8) - 2
|
(0.2 x 8) - 1
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
k. Nomor urut pengerjaan kesembilan seluruh
rasio dikalikan dengan sembilan kemudian part
A dikurangi empat, part B dikurangi
dua, dan part C dikurangi dua lalu
terpilihlah part B dengan nilai
terbesar.
Tabel 10. Urutan Produksi Kesembilan
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
|
2
|
(0.5 x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2 x2
|
|
3
|
(0.5 x 3) - 1
|
(0.3 x 3) - 1
|
0.2 x 3
|
|
4
|
(0.5 x 4) - 1
|
(0.3 x 4) – 1
|
(0.2 x 4) - 1
|
|
5
|
(0.5 x 5) - 2
|
(0.3 x 5) - 1
|
(0.2 x 5) - 1
|
|
6
|
(0.5 x 6) - 3
|
(0.3 x 6) - 1
|
(0.2 x 6) - 1
|
|
7
|
(0.5 x 7) - 3
|
(0.3 x 7) - 2
|
(0.2 x 7) - 1
|
|
8
|
(0.5 x 8) - 4
|
(0.3 x 8) - 2
|
(0.2 x 8) - 1
|
|
9
|
(0.5 x 9) - 4
|
(0.3 x 9) - 2
|
(0.2 x 9) - 2
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
l. Nomor urut pengerjaan kesepuluh seluruh
rasio dikalikan dengan sepuluh kemudian part
A dikurangi empat, part B dikurangi
dua, dan part C dikurangi dua lalu
terpilihlah part A dengan nilai
terbesar.
Tabel 11. Urutan Produksi
Kesepuluh
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5 x 1
|
0.3 x 1
|
0.2 x 1
|
|
2
|
(0.5 x 2) - 1
|
0.3 x 2
|
0.2 x2
|
|
3
|
(0.5 x 3) - 1
|
(0.3 x 3) - 1
|
0.2 x 3
|
|
4
|
(0.5 x 4) - 1
|
(0.3 x 4) – 1
|
(0.2 x 4) - 1
|
|
5
|
(0.5 x 5) - 2
|
(0.3 x 5) - 1
|
(0.2 x 5) - 1
|
|
6
|
(0.5 x 6) - 3
|
(0.3 x 6) - 1
|
(0.2 x 6) - 1
|
|
7
|
(0.5 x 7) - 3
|
(0.3 x 7) - 2
|
(0.2 x 7) - 1
|
|
8
|
(0.5 x 8) - 4
|
(0.3 x 8) - 2
|
(0.2 x 8) - 1
|
|
9
|
(0.5 x 9) - 4
|
(0.3 x 9) - 2
|
(0.2 x 9) - 2
|
|
10
|
(0.5 x 10) - 4
|
(0.3 x 10) - 3
|
(0.2 x 10) - 2
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
m.
Hasil dari iterasi diatas adalah sebagai berikut :
Tabel 12. Pengurutan Produksi Keseluruhan
|
NO
|
Produk A
|
Produk B
|
Produk C
|
|
1
|
0.5
|
0.3
|
0.2
|
|
2
|
0
|
0.6
|
0.4
|
|
3
|
0.5
|
-0.1
|
0.6
|
|
4
|
1
|
0.2
|
-0.2
|
|
5
|
0.5
|
0.5
|
0
|
|
6
|
0
|
0.8
|
0.2
|
|
7
|
0.5
|
0.1
|
0.4
|
|
8
|
0
|
0.4
|
0.6
|
|
9
|
0.5
|
0.7
|
-0.2
|
|
10
|
1
|
0
|
0
|
Sumber : Gutomo, et.al,
2005
Sehingga urutan pengerjaan produk adalah:
A-B-C-A-A-B-A-C-B-A
V. REFERENSI YANG DIGUNAKAN :
Monden, Yasuhiro., 2000. Sistem Produksi Toyota : Suatu Ancangan Terpadu Untuk Penerapan
Just-In-Time, Penerbit PPM dan Yayasan Toyota Astra, Seri Manajemen No. 7,
Jakarta.
Monden,
Yasuhiro., 2000. Sistem Produksi Toyota :
Suatu Ancangan Terpadu Untuk Penerapan Just-In-Time, Penerbit PPM dan
Yayasan Toyota Astra, Seri Manajemen No. 8, Jakarta.
PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia,
2006, The Toyota Way
Ohno,
Taichi, Just-In-Time Dalam Sistem
Produksi Toyota, Penerbit PT Pustaka Binaman Pressindo, Seri Manajemen No.168,
Jakarta.
Suzaki, Kiyoshi., 1991. Tantangan Industri Manufaktur Penerapan
Perbaikan Berkesinambungan, Saduran Ir. Kristianto Jahja, Penerbit PQM
(Productivity and Quality Management Consultant), Jakarta.
Toyota Production System, 1994, Standar Kerja dan Kaizen, PT Toyota Astra Motor, PADES.
Toyota
Production System, 1994, Standar Kerja
dan Kaizen, Toyota Motor Corporation, Human Resource Development, Dept, No.
2.
Toyota Motor Company, Toyota Production System, 2003, Just-In-Time, Jidouka, Kaizen.
Toyota Motor Company, 1993, Toyota Production System, Just In Time, Jidouka,
Kaizen, Standardized Work
Terimakasih ibu atas penjelasannya yang sangat membantu, saya mahasiswa dari salah satu univ di yogyakarta sedang melakukan penelitian terkait integrasi antara heijunka dan RCCP ibu. semoga kedepannya bisa lebih baik ibu.
BalasHapussalam hormat.
Zulkarnaini